ANAK SUPUTRA
Anak
keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga.
Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti
neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang
menyelamatkan dari neraka” (Bhagawan Dwija, 2010).
Seorang
anak/putra yang suputra (anak yang baik/mulia) merupakan cahaya
keluarga, seperti dinyatakan didalam Canakya Nitisastra “Bagaikan
bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk,
demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,
insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu member
kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”
(Canakya Nitisastra III.16). Sebuah keluarga tanpa anak bagaikan sayur
tanpa garam, kehidupan pasangan suami istri menjadi hambar tanpa
kehadiran seorang anak.
Anak
yang suputra akan mejadi sumber kebahagian bagi orang tuanya tetapi
sebaliknya anak yang kuputra (anak yang jahat) akan menjadi sumber
penderitaan bagi keluarga. Seperti untaian sloka kitab suci yang
menyatakan “Seluruh hutan
terbakar hangus hanya karena satu pohon kering yang terbakar. Begitulah
seorang anak yang kuputra menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh
keluarga” (Canakya
Niti Sastra Bab III. 15). Oleh karena anak merupakan asset masa depan
bagi keluarga baik semasih di dunia nyata maupun nanti di dunia rohani,
maka peliharalah sang anak sejak baru berada dalam kandungan.
Sebuah keluarga yang tidak memiliki anak maka kelak keluarga/orang tuanya tersebut tidak akan memperoleh surga. Ada banyak kisah didalam cerita kuno yang berkaitan dengan hal ini. Dimana
dikatakan orang tua yang tidak memiliki keturunan digantung diatas
bambu dibawahnya terdapat berbagai binatang yang mengerikan. Seperti
diceritakan didalam Mahabharata bagian Adi Parwa versi Jawa Kuno.
Dalam
Adiparwa (Bab. V) diceritakan pertemuan Sang Jaratkaru dengan roh
leluhumya yang hampir jatuh ke neraka. Leluhumya berkata:
Nahan
ta hetu mami n pegat sangkeng tibeng narakolaka;tattwanikang petung
sawilih, hana wangsa mami sakiki, jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih
taya, mahyun lupeteng sarwa janmabandhana, ta tan pastry, ya sukla
brahmacari.
Artinya :
Beginilah
sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung
pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah
bambu ini ialah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang
bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa
melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan, la tidak mau kawin, ia
menjalankan sukla brahmacari.
Kata-kata leluhumya ini dijawab, oleh Sang Jaratkaru :
Hana
n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh,
marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun.
Artinya :
Ada
jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah tuan ragu dan takut. Hamba
akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai
anak.
Dari
penggalan cerita diatas dapat diartikan bahwa seorang yang tidak
memiliki keturunan kelak leluhurnya terancam masuk neraka. Seperti
petikan cerita diatas roh leluhur Sang Jarat Karu terancam masuk neraka karena ia tidak memiliki putra/anak karena Sang jarat Karu melakukan Sukla Brahmacari. Oleh karena roh leluhur terancam masuk neraka maka Sang Jarat Karu memutuskan untuk tidak melakukan Sukla Brahmacari dan bersedia untuk menikah untuk mempunyai anak. Lalu apa yang dimaksud Sukla Brahmacari? , Lontar Wrtisasana menjelaskan “Suklabrahmacari ta pa stri sangkan rare, tekang kapatinira… Suklabrahmacari ialah orang yang tidak kawin dari kecil sampai meninggal. (penggalan sebuah sloka Kitab Wrtisasana (Kirtya No. IIb. 76 halaman 3). Sukla Brahmacari dalam ajaran Kristen dikenal dengan selibat .
Sukla Brahmacari/selibat hanya boleh dilakukan apabila terikat oleh sebuah janji dan
juga kewajiban. Didalam kisah Mahabharata salah satu tokoh yang
melakukan Sukla Brahmacari adalah Rsi Bhisma atau Bhagawan Bhisma,
sehingga beliau bisa hidup lama. Saudara (tiri) Rsi Bhisma adalah Citrānggada dan Wicitrawirya yang melahirkan Pandu ayah Panca Pandawa dan Drestarastra ayah Korawa.
Menurut
cerita Mahabharata, Sang Pandu (di Indonesia sering disebut Pandu
Dewanata) ia pernah ditolak masuk surga karena sang baginda tidak
memiliki anak. Hal ini akibat kutukan Rshi Kindama.
Diceritakan
ketika Sang Pandu sedang berburu, tanpa sengaja membunuh seorang Rsi.
Ketika itu Rshi Kindama yang sedang bersenggama bersama Istrinya yang
menyamar menjadi sepasang kijang dipanah oleh Sang Pandu. Sebelum wafat,
Rshi Kindama mengutuk Sang Pandu bahwa apabila ia hendak bersenggama
dengan salah satu istrinya maka ia akan meninggal.
Oleh
karena kutukan tersebut, Sang Pandu tidak lagi memerintah Hastina Pura,
tampuk pemerintahan diserahkan kepada Sang Drestarastra kakak sang
Pandu.
Setelah
menyerahkan pemerintahan kepada kakaknya, sang Pandu melakukan yoga
semadi untuk pergi ke sorga bersama para Brahmana. Namun sayang ketika
didalam perjalanan menuju ke surga sang Pandu tidak di izinkan ikut
serta ke surga.
“wahai
kau anakku, akan kemanakah engkau?” tanya salah seorang Brahmana, Pandu
Menjawab “Hamba mau ikut bersama pendeta”, “Kami akan pergi ke surga,
engkau tidak boleh ikut pergi bersama kami , karena engkau tidak
memiliki putra” kata sang Brahmana. Setelah mendapat jawaban seperti itu
sang Pandu amat sedih hatinya, kemudian sang baginda kembali lagi ke
kediamannya.
Setelah
sampai di kekediamannya sang Pandu menggalau, diceritakanlah bahwa Sang
Pandu tidak akan bisa masuk surga karena tidak memiliki anak. Sang
Pandu meminta janji kepada kedua istrinya yang pernah mereka ungkapkan
ketika awal pernikahan mereka. Prtha (Dewi Kunti) anak Raja Kuntibhoja
berjanji memberi 3 bagian dan dewi Madri adik salya (narasoma) anak
seorang raja dari kerajaan Madrapati berjanji meberi 2 bagian kepada
suaminya Sang Pandu.
Dalam
suasana yang membingungkan, Dewi Kunti teringat akan sebuah anugrah
Mantra Sakti yang diberikan oleh Rsi Durwasa, anugrah Mantra Sakti
tersebut diberikan kepada Dewi Kunti ketika masih Gadis. Fungsi mantra
itu untuk mengarad/memanggil para dewa. Digunakanlah Mantra sakti itu
untuk mengarad Bhatara Dharma, maka dianugrahi seorang anak ahli agama
(dharma), diberi nama Yudistira (Dharmawangsa). Kemudian selanjutnya
Dewi Kunti mengarad Bhatara Bayu maka dianugrahi anak yang kuat laksana
gunung yang diberi nama Bhima. Kemudian yang terakhir Dewi Kunti
mengarad Bhatara Indra maka dianugerahilah anak ahli perang yang diberi
nama Arjuna.
Mantra
sakti yang dimiliki oleh Dewi Kunti juga diberikan kepada Dewi Madri,
kemudian Dewi Madri mengarad Dewa Aswin (dewa kembar) maka dianugerhilah
anak yang cerdas dan tampan yang diberi nama Nakula dan Sadewa.
Meskipun
kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan daripada
Sadewa, sedangkan Sadewa lebih pandai daripada kakaknya itu. Terutama
dalam hal perbintangan atau astronomi, kepandaian Sadewa jauh di atas
murid-murid Resi Drona lainnya. Selain itu ia juga pandai dalam hal ilmu
peternakan sapi. Sebenarnya yang tampan dari kelima putra sang Pandu bukanlah Arjuna melainkan Nakula.
Apa
yang pernah dijanjikan oleh kedua istrinya maka telah terpenuhi, maka
berbahagialah Sang Pandu. Suatu ketika sang pandu lupa akan kutukan Rshi
Kindama kemudian ia memeluk istrinya Dewi Madri oleh karena tidak kuat
menahan nafsu asmara yang sedang bergelora, amka seketika itulah sang
Pandu mangkat, sedangkan Dewi Madri ikut menceburkan diri kedalam api
pembakaran mayat suaminya sebagai bukti kesetiannya.
Menceburkan
diri kedalam api sang suami dalam tradisi Hindu kuno hal itu disebut
Sati (ritual sati). Tradisi ini di Bali dihapuskan oleh Belanda dan di
India dihapuskan oleh Inggris pada tahun 1829 karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan.
Berkaca pada Panca Pandawa, untuk memajukan suatu bangsa dan Negara kelima karakter yang dimiliki oleh panca
pandawa tersebut harus ada dalam sebuah Negara. Dimana harus ada ahli
hukum (agama), ahli perang, Sumber kekuatan , wibawa pemerintah dan ahli ekonomi. (kebajikan, ketangkasan, kekuatan, wibawa, kecerdasan).
Demikianlah
mengapa anak dikatakan sebagai anugrah atau kekayaan yang tak ternilai
yang akan menyelamatkan orang tua di dunia nyata dan di dunia rohani.
Oleh karena demikian berartinya seorang anak sehingga ada yang
beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar