Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma
(dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai
manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan.
Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh."
Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.
Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.
Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap
210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu
Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan
dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu
wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal
ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya
dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena
itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewi Saraswati.
Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang
Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau
tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan
menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang
melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu
dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa,
setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan
melakukan malam sastra dan sambang samadhi.
Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku
Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu
pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air
kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara,
semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan
matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu
pengetahuan.
Filosofi dan Mitologi
Filosofi dan Mitologi
Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada
hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama
Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni
dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau
"ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara
etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu
pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat
sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan
hidup pada umat manusia.
Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti
makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna
apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan
menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan
merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang
bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.
Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat
Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau
buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan
lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah
sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian
huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya
adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana
Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus
untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji
Saraswati.
Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di
Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula
versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri di atas
bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah
dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang
tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu
adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik
dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat
menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang
dapat merangsang munculnya nafsu birahi.
Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang
penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang
luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang
yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda
usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga
merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali. Sedangkan cakepan atau daun
lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan
genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri
juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual
untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu
pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini
berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang
sesat.
Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali
disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu
pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi. Bunga
padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu
pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga
merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.
Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki
sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa
juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan
air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja,
sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang
telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan
wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan
yang jelek dan yang benar dengan yang salah.
Bunga Padma atau bunga teratai adalah bunga yang
melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta dala)
sebagai stana Tuhan. Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu
menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan.
Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of
Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan
menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu
harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena
egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi
Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan
alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati
salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung
beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu
dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten
Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam. Menurut para ahli Antropologi,
bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti
cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual.
Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu
pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau
pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan
intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.
Dalam lontar Saraswati juga memakai daun
beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta
pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada
kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang
terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut
dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga
dunia terhindar dari kekacauan. Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi.
Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan.
Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna,
ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang
Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga
putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah
di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya.
Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah.
Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa
Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwama
mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di
seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini
tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.
Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan
Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan
Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan
anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan
taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan
Wibhisana. Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para
dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma
tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan
raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan
manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad
memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada
ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun
sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu,
Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya
berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap.
Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugrah
pada Kumbakarna. Kumbakarna memohon anugrah yakni agar selama hidupnya selalu
senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka sada". Namun
akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut
raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada" yang artinya selalu
tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna
mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu
meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat
mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan
kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama
sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati
terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara
Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini
berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga
diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah sungai Saraswati amat
dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau
Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu
yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu.
Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa
Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati.
Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara
kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut. Di
lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama,
Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika
musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering.
Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit
didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah
ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih
setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal
di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap
mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan
lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya.
Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para
resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu
kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa
makna kalau sampai lupa pada isi Weda.
Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali
ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon
kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat
memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugrah
apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para resi bertanya, apakah patut
orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat
muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru
kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya.
Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan
menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama.
Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada Dewi Saraswati.
Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu
orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin
mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati
mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia.
Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya.
Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya.
Dewi Saraswati menganggap, kemampuan Resi Kawasa
sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke tempatnya oleh Dewi
Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari Wangsa Brahmana
itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu
menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan
sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu,
Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana pendeta sejati.
Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat
memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya
dengan sungguh-sunguh.
Pada Hari Raya Saraswati Tentang bunga padma yang
di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau
gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam
Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan
lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada
dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan
bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan bagaikan aliran sungai
Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi Saraswati berstana di
lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati.
Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari
godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.
Semua perumpamaan itu adalah suatu metoda seni
sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan
memudahkan hidup, sedangkan seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja
Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni.
Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa
dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda. Menggapai kesucian
Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan
oleh keindahan seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai
kesucian Sang Hyang Weda.
Hari Saraswati merupakan manifestasi Hyang Widhi
sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, Kekuatan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya ini
dilambangkan dengan seorang Dewi, Dewi membawa alat musik, Genitri,, Pustaka
suci, Teratai, serta duduk di atas angsa.
1. Dewi simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu indah,
cantik, menarik, dan lemah lembut dan mulia
2. Alat musik simbol, bahwa ilmu Pengetahuan itu
seni budaya yang agung
3. Genetri simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu tak
terbatas dan kekal abadi
4. Pustaka suci simbol, bahwa itu sumber ilmu
pengetahuan yang suci
5. Teretai simbol, bahwa ilmu pengetahuan itu
merupakan kesucian Hyang Widhi
6. Anga adalah simbol kebijaksanaan, Angsa bisa
membedakan antara yang baik dan buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar